Selasa, 22 Oktober 2013

Sebuah upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah sendiri

Educational Project: Mengenal Lombok



Marham Jupri Hadi
(STMIK Syaikh Zainuddin NW/ University of Wollongong, Australia, 23/10/2013)


Rasional

Kenapa projek ini penting?

Pemberian informasi yang berimbang mengenai pulau Lombok dan daerah lain yang bernilai pendidikan terasa sangat kurang  apalagi setelah televisi menjadi tontonan utama para siswa sekolah dasar dan menengah bahkan perguruan tinggi. Banyak hal yang menjadi penyebab dari masalah tersebut, salah satunya adalah kurangnya informasi mengenai daerah Lombok. Meskipun telah banyak yang telah menulis mengenai Lombok baik di media cetak maupun media elektronik, khususnya Youtobe, tetapi informasi yang dibuat secara khusus untuk kepentingan dunia pendidikan terasa masih sangat sedikit. Selain itu, penulisan buku tentang Lombok untuk kepentingan pendidikan juga masih sangat kurang. Kebanyakan perpustakaan sekolah dijejali informasi tentang daerah lain atau mungkin cerita-cerita fiksi yang berbeda dari kondisi ril siswa.

Upaya untuk mengenalkan daerah sendiri kepada peserta didik adalah mutlak untuk dilakukan.
Kita sangat prihatin dengan kondisi dimana banyak para siswa yang tidak mengenal daerah sendiri. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya, ketidakmampuan untuk mengakses wilayah yang ada di pulau Lombok. Oleh karena itu, diharapkan projek ini bisa membantu siswa untuk mengakses informasi yang bisa digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang daerah sendiri. Mengenal pulau Lombok berarti mengenali identitas diri. Dengan mengenali identitas diri sendiri maka diharapkan akan tumbuh rasa bangga sebagai orang yang lahir dan tumbuh di pulau Lombok.

Selain itu, selama ini siswa banyak disuguhi mengenai informasi yang jauh dari lingkungan tempat tinggalnya.  Informasi yang terdapat dalam buku-buku teks yang ada di sekolah dasar dan sekolah menengah sepertinya banyak berisi informasi tentang daerah luar. Memang buku tersebut bermanfaat untuk mengenalkan para pelajar tentang wilayah Indonesia.  Akan tetapi kebanyakan para pendidik lupa megenalkan wilayah mereka sendiri. Akibatnya siswa lebih mengenal daerah luar daripada daerahnya sendiri.

Bagaimana cara mengenalkan pulau lombok kepada para siswa?
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengenalkan pulau lombok beserta potensi yang ada didalamnya. Antara lain dengan mengajak siswa untuk melakukan tur/ tamasya ke berbagai daerah yang ada di pulau Lombok. Dengan cara ini, para siswa akan melihat dan menyadari kekayaan budaya dan alam yang dimiliki oleh pulau Lombok. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melalui buku. Dengan buku, tidak hanya pemahaman siswa mengenai pulau Lombok yang akan meningkat, tetapi juga kemampuan mereka untuk membaca juga akan bertambah. Cara yang mungkin lebih innovatif dan menarik adalah dengan menggunakan rekaman dimana siswa diberikan informasi melalui media televisi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama selama ini para siswa menghabiskan banyak waktu untuk menonton TV. Kenapa kita tidak memanfaatkan ini sebuah sebuah kesempatan untuk mengenalkan siswa tentang daerah sendiri. Tentunya suguhan attraktif bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa untuk menontonnya.

Selain ketiga metode diatas, pengenalan juga bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi. Salah satunya adalah dengan menggunakan Power Point. Power Point bisa digunakan sebagai media penyampaian informasi. Integrasi power point dalam proses pembelajaran bisa juga melalui WebQuest project dimana siswa diminta untuk mencari informasi mengenai daerah mereka dan itu bisa dijadikan sebagai tugas sekolah mereka.

Bagaimana mengitegrasikan program pengenalan pulau Lombok kepada siswa?
Seperti yang saya katakan diatas, mengenalkanya bisa melalui kegiatan pembelajaran yang terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada di dalam kelas.Mata pelajaran yang bisa menjadi bagian terintegrasi dari program pengenalan Lombok ini adalah bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ekonomi, PPKn, Pendidikan Agama dan mungkin juga olahraga.


Siapa yang bisa terlibat dalam project ini?
Program bisa bisa dilakukan oleh siapapun namun diperlukan tim kerja untuk mempermudah proses pekerjaan. Tim tersebut bisa terdiri dari guru, dosen, mahasiswa, siswa, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat pemerintah, dinas pendidikan, dan anggota masyarakat lainnya.

Bentuk project
Project ini bisa berbentuk penulisan buku, rekaman video, rekaman suara, power point ataupun weblog.
                                                                        
Topik
Ruang lingkup dari projek ini memang sangat luas, tetapi bisa dipersempit dalam bentuk topik-topik seperti sejarah, tempat wisata, nama tempat, tokoh, kehidupan masyarakat dan lain-lain.

          
Kapan bisa dimulai?
Project ini bisa dimulai sekarang juga dengan menyediakan sebuah kamera, recorder, handycam, laptop, buku dan polpen serta kendaraan. Beberapa orang seperti, di internet sudah memulainya. Sebagai contoh http://lombokexploring.wordpress.com/, blog yang dirintis oleh saudara Andi  Marhadani, seoran guru SMA di kabupaten Lombok Barat. 

Pendanaan
Projek ini adalah project dengan swadaya, dalam artian pendanaan sepenuhnya akan ditanggung oleh masing-masing anggota tim. Ketika salah satu projek sudah terlaksana, maka upaya untuk meminta bantuan pemerintah atau sumber pendana lainnya bisa dilakukan.

Catatan
Pemikiran ini masih banyak memerlukan kajian lebih jauh. Oleh karena itu, masukan dan saran serta kritik terhadap konsep yang ditawarkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam merancang project pengenalan pulau Lombok kepada para siswa.


Inspiring lesson from S4S leadership conference


The leadership conference was one of the very rewarding experiences I had throughout my leadership learning journey. What I found really inspiring was the young lady, one of the keynote speakers, who dedicated her life just to organize a social movement to cut poverty cycle, not only in Australia but for the entire globe. I believe cutting such a cycle is just climbing a really high and slippery cliff which threatens the climber’ life, yet she is now in the middle of her journey at the top the cliff.

Listening to her sharing experiences leads me to a conclusion that leadership exist in every one. We do not have to be powerful people to make a change. All we need to do is to raise a sense of care, love and empathy to what happens in our surrounding. Once this feeling becomes stronger and stronger, power will come to us. We will have the courage and confidence to talk to others about the unfortunate reality facing our society. We will, definitely, have braveness to dream of a change. With this great feeling, aura of leadership will start burning like fire in the cold. Then, everybody will notice our existence. In the long run, more power will be in surrounding. 

Personally speaking, the conference provided, indeed, an invaluable lesson for me and for the rest of the participants. Each speaker honestly expressed their deep feeling and thoughts about what it meant to make a change. Their inspiring stories have successfully triggered everyone in the conference room to wake up and start to change, no matter how big they can contribute to make a change. Very unfortunately, however, only a few people could experience such an incredible moment of learning. There should be more participants in that place because the conference was such a great source of energy to recharge everyone’s leadership battery. Not only deepening their understanding, but conference would build their leadership capacity. I do hope that there would be more similar conferences with more people attending them.


Selasa, 08 Oktober 2013

Pendidikan untuk anak kami ...


Refleksi hasil bincang-bincang diatas kereta api (Wollongong-Sydney)

Tepat hari senin tanggal 7 Oktober 2013 merupakan labour day, hari buruh nasional Australia. Tapi bagi kami bertiga, saya, Wimbi, dosen UKSW Salatiga, dan Kris, guru Bahasa Inggris di SMA N 1 di kalimantan Barat, hari tersebut adalah libur day. Kesempatan libur tersebut kami manfaatkan untuk jalan-jalan menikmati indahnya pemandangan sepanjang jalan menuju Sydney yang merupakan kota terpadat di Australia.

Memang banyak pilihan untuk ke Sydney, tetapi alternatif terbaik adalah dengan menggunakan kereta api. Perjalanan ke Sydney kurang lebih ditempuh sekitar 1,5 jam dari tempat kami tinggal, Wollongong.  Selama dalam perjalanan, kami berdiskusi tentang banyak hal, salah satunya adalah tentang pendidikan di Indonesia. Fokus pembicaraan kami adalah mengenai pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kami.

Saya memulai diskusi dengan menceritakan pengalaman salah seorang Professor di Perguruan Tinggi negeri di Indonesia yang merasa kasihan melihat anaknya yang setiap hari harus membawa banyak buku sepulang sekolah. Anaknya tampak kecapean bahkan seringkali anaknya mengeluhkan proses pembelajaran yang sangat berbeda dari apa yang pernah dialami saat dia masih mengikuti sekolah di salah satu Primary school di Australia.  

Berangkat dari cerita tersebut kamipun mulai berbincang-bincang tentang sekolah-sekolah dasar yang “bermerek” Standar Internasional, RSBI.  Dalam diskusi tersebut, ada beberapa hal yang menjadi poin-poin utama diskusi kami. Pertama, kami menilai sekolah bertaraf international lebih bermotif proyek ketimbang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia.  Kesimpulan tersebut kami ambil, karena melihat fakta dilapangan bahwa, sekolah-sekolah berlogo international tersebut pada praktiknya merupakan wadah penyaluran dana dari Mendikbud yang, menurut kami, terlalu berlebihan.  Dampak negatif yang kami lihat juga adalah ada indikasi  ketidak adilan pemerintah dalam menangani pendidikan di Indonesia dengan adanya konsep standarisasi tersebut. Berungtunglah Mahkamah konstitusi telah membatalkan RSBI di seluruh Indonesia.

Poin kedua dari diskusi kami adalah pada level sekolah dasar, para siswa sepertinya terlalu dipaksa untuk belajar.  Entah karena keinginan atau gengsi orang tua untuk melihat anaknya berprestasi sehingga anak tersebut harus terpaksa mengikut berbagai macam kursus setelah pulang sekolah. Akibatnya, banyak anak-anak tersebut kehilangan masa-masa bermain mereka. Padahal bermain juga adalah bagian dari belajar dan mempengaruhi motivasi berprestasi serta fungsi dari otak anak.

Terkait dengan belajar sambil bermain, kami teringat saat berada di bangku sekolah dasar. Begitu jarang kami mengikuti kursus di sore hari, namun waktu luang kami gunakan untuk bermain. Kami merasa, bahwa dari permainan tersebut kami belajar arti bersosialisasi, melatih komunikasi,  bekerjasama, berkreativitas dan berkompetisi serta pemanfaatan lingkungan sebagai sumber ide. Tetapi karena zaman sudah berubah dimana teknologi informasi dan komunikasi sudah mempengaruhi pola pikir manusia, maka, permainan-permainan tradisional tersebut perlahan mulai ditinggalkan oleh anak-anak kecil saat ini. Bahkan banyak sekali dari anak-anak seumuran TK atau SD sudah terlahir sebagai Digital Native. Maksudnya, sejak baru lahir mereka sudah diekspos ke dunia digital seperti HP, TV, tablet ataupun laptop.

Diskusi kamipun terus berlanjut dari satu topik ketopik lainnya. Topik yang kami bahas adalah bagaimana pendidikan yang terbaik untuk anak kami.  Sayapun menceritakan bagaimana saya mendidik anak saya di rumah. Kebetulan kedua teman saya belum memiliki anak jadi mereka lebih memilih untuk mendengarkan pengalaman saya tersebut.

Saya menjelaskan kepada mereka bahwa, anak saya yang pertama, 5 tahun, saya masukkan di salah satu PAUD yang dikelola oleh keluarga. Dari pengamatan saya, anak saya cukup banyak mengalami kemajuan baik dalam menggambar, menari ataupun berbicara. Namun saya cukup kaget ketika melihat perkembangan yang kurang baik dari anak saya. Setelah saya pelajari, ternyata hal-hal yang kurang baik tersebut merupakan pengaruh dari dua hal yaitu, kurangnya perhatian guru di PAUD tersebut serta pengaruh negatif dari teman sebaya  anak saya. 

Sayapun mulai berpikir keras tentang bagaimana saya harus mendidik anak saya dirumah untuk menyeimbangkan pengaruh negatif dari proses belajar di PAUD tersebut. Akhirnya, sayapun memutuskan untuk mempelajari buku-buku pendidikan anak di rumah dan berharap agar istri saya bisa menjadi guru dari anak-anak saya. Saat ini, saya berharap semoga aktifitas belajar sambil bermain dirumah tersebut relatif bisa membantu perkembangan kepribadian anak-anak saya.

Berangkat dari cerita tersebut, kami terus menggali beberapa kemungkinan terbaik untuk mendidik anak-anak kami. Memang cukup berat untuk mencari solusi terbaik karena kami tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk menformulasikan konsep pendidikan anak. Namun, salah satu ide yang muncul adalah Joyful Home Learning, proses belajar di rumah sambil bermain. Kata home learning sengaja dipilih untuk membedakannya dengan home schooling, meskipun kami tidak begitu memahami konsep keduanya. Tetapi pada prinsipnya, home learning dalam persfektif kami adalah proses pembelajaran yang dimana orang tua menjadi pemegang peranan kunci dalam proses tersebut.

Konsekuensi dari konsep tersebut adalah  orang tua perlu menyediakan waktu bersama anak mereka baik untuk mengajarnya mengaji, menulis, menggambar ataupun yang lainnya. Orang tua pada konsep ini adalah menjadi idola dan guru utama dan pertama dari anak-anak mereka yang masih kecil. Bukan baby sitter, pengasuh bayi buka pula dari guru PAUD atau SD.  Kami menyadari sudah banyak orang yang mempraktikkan konsep ini dan berhasil. Kami juga memaklumi bahwa konsep ini terkendala oleh banyak hal, salah satunya kesibukan orang tua  yang mungkin fokus pada pekerjaan atau bisnis. Tetapi apapun kondisi yang dihadapi oleh para orang tua, kami berharap ada waktu yang disediakan khusus untuk mendidik anak-anak mereka.

Karena kereta kami sudah sampai Sydney, maka diskusipun kami akhiri sehingga belum ada kesimpulan yang optimal dari bincang-bincang singkat tersebut. Tetapi kami berharap obrolan santai kami tersebut bermanfaat bagi para orang tua selaku penentu pertama dan utama warna dari keperibadian anak.

Sumber gambar:
Diakses, 8 oktober, 2013, www.abufahry.wordpress.com, www.media2give.blogspot.com  & http://www.google.com


Penulis:
Marham Jupri Hadi, Pendidik dan pemerhati sosial. Mahasiswa Pasca Sarjana University of Wollongong, New South Wales, Australia.
Email     : marhamjuprihadi@yahoo.co.id

Jumat, 04 Oktober 2013

Gadis Vietnam bertanya tentang sholat...


Seperti biasa, setiap weekend, kami main bola disalah satu lapangan umum di wilayah di Wollongong, sebuah kota kecil di Australia bagian tenggara. Kami sangat menikmati olaharaga tersebut karena itu adalah kesempatan untuk melepaskan kepenatan setelah lima hari kami harus bergulat dengan tugas, menulis artikel ilmiah, membaca jurnal dan menyiapkan presentasi. Setiap kali bermain, kami sangat menikmatinya karena tim lawan kami adalah mahasiswa dari timur tengah seperti Syiria, Iraq, Lebanon dan terakhir dengan Malasyia. Sayang kami jarang menang, tetapi tidak pernah terjadi " gontok2an". 

Sebelum main bola biasanya kami harus sholat ashar dulu karena hawatir waktu sholat tidak cukup. Karena tidak ada tempat sholat khusus maka seringkali kami harus sholat diatas rumput lapangan yang terkadang menjad tontonan tersendiri bagi "bule-bule" non muslim Australia. Suatu saat saya sholat asyar dipinggir lapangan dan sekitar 50 meter di belakang saya ada sepasang kakek nenek yang sedang jalan2 sambil membawa dua ekor anjing peliharaannya. Saya sempat was2 saat itu karena hawatir anjingnya akan menyentuh saya. Tetapi saat itu, saya memutuskan untuk memfokuskan perhatiaan saya sambil berdoa semoga Allah menjauhkan anjing2 tersebut dari tempat sholat saya. Walhasil, alhamdulillah, ternyata sampai selesai sholatpun saya tidak tergangggu karena kakek nenek tersebut berhenti sekitar lima meter dibelakang saya sholat. Mereka sepertinya menghargai apa yang saya lakukan dan selanjutnya merekapun tersenyum dan menyapa saya.

Setelah permainan bola selesai, sekitar jam 5.00 (atau magrib) waktu Australia, sayapun ikut mampir di salah satu teman non muslim dari Kalimantan. Kebetulan ditempat tinggalnya saya bertemu dengan seorang gadis dari vietnam, yang juga sedang studi di universitas yang sama dengan kami. Sayapun berkenalan dan berbincang2 untuk sesaat. Karena waktu magrib sudah tiba, maka saya ngomong keteman saya untuk numpang ke kamar kecil. Sepertinya teman saya mengerti maksud saya dan dia mempersilahkan saya untuk untuk wuduk dan sholat di kamarnya.

Saat mau takbir tiba2 tiba saya mendengar teman Indonesia saya tersebut bercerita kepada si gadis vietnam " dia mau sholat dan itu harus bagi dia, karena dia muslim." Saya pun sholat dengan menggunakan jaket saya sebagai sajadah. Setelah selesai sholat sayapun langsung menemui si gadis vietnam tersebut. Begitu saya duduk, dia langsung bertanya: kenapa kamu harus sholat?". Saya agak sedikit terhentak dengan pertanyaan tersebut, karena dia bukanlah orang non muslim pertama yang bertanya demikian. Pertanyaan yang sama pernah juga ditanyakan oleh beberapa teman dari jepang dan dari Australia. 

Saya berpikir cukup keras untuk menemukan jawaban sederhana tersebut. Akhirnya sayapun teringan satu kejadian dalam hidup saya. Saat itu saya sedang mengalami masalah berat yang membutuhkan solusi cepat dan yang jelas saya tidak mampu memecahkannya sendiri. Masalah tersebut membuat saya stress, pusing dan perasaan tidak karuan. Saya menceritkan kejadian itu kepada gadis vietnam tersebut dan menjelaskan bahwa masalah tersebut bisa teratasi setelah saya sholat. 

Sayapun terus berpikir dan berdo'a di dalam hati semoga Allah memberikan petunjuk agar saya bisa meberikan jawaban kepada si vietnam ini, yang beragama Budha. Alhamdulillah, akhirnya jawabun muncul di kepala saya. Saya mengatakan bahwa sholat adalah sebuah meditasi kalo dalam agama budha. Saat sholat, saya menemukan ketenangan batin dan merasakan keseimbangan perasaan dan mental yang luar biasa. Diapun mengerti apa yang saya maksudkan karena sebagai seorang yang beragama budha, maka dia harus sering meditasi. 

Jawaban lainpun muncul dibenak saya. Saya katakan padanya, sholat adalah salah satu bentuk olahraga yang dalam agama hindu seperti yoga. Gerakan fisiknya sangat membantu melancarkan darah dan menormalkan syaraf-syaraf yang tegang. Sayapun menjelaskan bahwa bacaan dalam sholat membantu saya mengatur pernafasan dengan baik. 



Mendengar jawaban tersebut, diapun mulai mengerti kenapa saya harus sholat, sehingga setiap kali bertemu dengannya, diapun menceritakan bahwa dia juga mengenal beberapa mahasiswa muslim yang seringkali minta izin untuk meninggalkan ruang perkuliahan untuk sholat. Awalnya dia tidak mengerti, tetapi setelah mendengar penjelasan saya akhirnya dia mulai memahami apa yang kami lakukan.

Semoga cerita ini bermanfaat.

Image source : www.google.com

Sabtu, 21 September 2013

Kejamnya Orang Tua Sekarang


Marham JH.
Surabaya, 25 Mei 2012

Mungkin tidak semua orang akan setuju dengan pendapat ini, tetapi saya rasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkanuneg-uneg yang terus menggangu dalam hati dan pikiran saya. Sejujurnya. Saya merasa orang tua sekarang kebanyakan menganggap diri mereka sudah berbuat yang terbaik untuk anak-anaknya tetapi kenyataanya mereka melakukan yang sebaliknya? Mungkin anda akan bertanya kenapa saya mengatakan demikian. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hasil pengamatan saya.

Terlalu membiarkan anak mereka bermain kapan saja dan dengan siapa saja
Ada seorang Bapak yang baru saja saya kenal, dalam perjalanan ke Surabya, mengatakan bahwa induk ayam akan mencari anak mereka sampai ketemu ketika anaknya tidak berada disekitarnya. Terutama apabila waktu magrib telah tiba dimana sang induk akn terus memanggil-manggil anaknnya Mereka akan terus mencarinya kemana-mana sampai ia menemukan anaknya..  Apakah itu terjadi pada kebanyakan orang tua sekarang? Kita semua memiliki jawaban yang berbeda tentang hal ini. Tetapi kalau kita perhatikan di daerah perkotaan, ada banyak orang tua yang begitu santainya membiarkan anak mereka keluar dari rumah tanpa mempedulikan kapan anaknya harus pulang dan dengan siapa anaknya keluyuran.
Mungkin kurang bijak kalau orang tua disalahkan dalam hal ini karena mereka punya alasan kuat untuk itu. Mereka mungkin saja sibuk bekerja atau mengurus bisnisnya. Tetapi, saya justru bersyukur dengan banyaknya kasus penculikan anak, meskipun bagi sebagian besar orang hal tersebut menakutkan. Maksud saya, dengan kejadian tersebut, para orang tua mulai bertanya dimana keberadaan anak-anak mereka dan berusaha mencarinya.
Mereka terlalu percaya pada orang lain untuk mendidik anak mereka
Dunia pendidikan secara fisik telah menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya gedung-gedung baru, fasilitas yang lengkap ditambah dengan masuknya tekhonolgi informatika yang sudah terinstal ke sekolah-sekolah. Akibatnya banyak orang tua yang menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah sekolah yang dianggap berkualitas. Mereka sepertinya mempercayakan sepenuhnya masa depan anak-anak mereka kepada orang lain, kepada para guru di sekolah tersebut. Hal tersebut membuat mereka lupa pada tugas utama mereka yaitu menjadi guru pertama dan utama bagi keturunannya.
Mereka sanggup mengeluarkan biaya mahal agar anak mereka bisa meraih masa depan yang baik. Tetapi sadarkah mereka bahwa para guru tersebut juga memiliki kekurangan yang tidak memungkinkan mereka untuk sepenuhnya mampu menjadi pemegang amanat yang baik. Mereka juga punya masalah seperti kebanyakan orang tua. Dengan adanya peraturan baru mengenai guru sebagai sebuah profesi, maka imbasnya adalah fokus perhatian guru mulai beralih kepada material. Hal ini diperparah dengan guru juga mengalami tekanan finansial sehingga harapan untuk menjadikan anak didik mereka menjadi generasi yang lebih baik sepertinya semakin tipis.
Pertanyaanya adalah apakah ada jaminan bahwa harapan orang tua akan menjadi kenyataan? Saya sendiri tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Tetapi saya meyakini bahwa dengan sepenuhnya menggantungkan nasib anak pada para “guru saat ini” perlu kita pertimbangkan kembali. Dengan kata lain, ada baiknya kita juga menyadari bahwa guru juga memiliki batasan yang membuat mereka sepenuhnya tidak mampu menjamin tercapainya tujuan para orang tua.
Akan tetapi, secara pribadi, saya mengacungkan dua jempol kepada sejumlah guru yang mengabdikan hidup mereka bagi para penerus bangsa walaupun mereka sendiri mengalami masalah yang tidak kecil dalam kesehariannya. Saya juga bangga kepada para orang tua yang bertekad untuk membuat “home schooling” yang menjadikan rumah mereka tempat belajar/ sekolah bagi anak-anaknya.

Membahagiakan anak dengan memanjakannya
Suat hari saya mendengar pernyataan yang luar biasa tapi konyol dari beberapa orang tua mengenai cara mereka membanggakan anaknya. Mereka memberikan apa saja yang anak-anaknya inginkan agar mereka bahagia. Mungkin bagi mereka, khususnya orang tua dari kalangan “mampu”, beranggapan bahwa  itu adalah hal yang terbaik, tetapi sejujurnya itu sudah berlebihan. Sebaliknya, mereka telah menjadikan anak-anak mereka manja. Mungkin pernyataan dari seorang wanita, yang mendapat gelar “ the best mother on earth” perlu menjadi pemikiran kita bersama. Dia mengatakan bahwa silahkan memanjakan pasangan anda, wahai para orang tua, tetapi jangan pernah memanjakan anak-anak anda.
Bagi saya, para anak yang terlahir dari keluarga yang tidak “ beruntung” adalah anak yang beruntung, karena mereka tidak sempat mengalami masa-masa pemanjaan oleh orang tua mereka. Percaya atau tidak, anak yang lahir dari sebuah kemanjaan akan berakhir menjadi “sumber penderitaan orang tua, saat mereka sudah dewasa nanti. Itu terjadi karena mereka sedikit, bahkan tidak memiliki kesempatan untuk belajar arti hidup. Arti hidup lebih banyak ditemukan melalu masalah, salah satunya penderitaan.
Bersukurlah para anak yang kehilangan orang tua mereka karena dengan penderitaan yang mereka alami diawal masa-masa hidup mereka, akan menjadikan mereka pribadi yang tangguh. Bukankah orang yang siap menghadapi cobaan dan bahkan kebanyakan orang berhasil dalam hidupnya adalah orang mengalami kerasnya cobaan hidup.
Membiarkan orang lain menjadi idola bagi anak mereka
LADI GAGA menjadi salah satu ikon wanita “modern atau mungkin mudarat”. Saya tidak akan memaksakan penilaian pribadi saya kepada siapapun. Tetapi saya perhatikan ada banyak sekali anak-anak remaja yang menjadikannya idola dalam hidup mereka. Parahnya lagi, para orang tuapun ikut-ikutan menjadikan penggemarnya.

Dalam hal ini saya berpikir bahwa para orang tua sudah GAGAL menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Mereka tidak berhasil menjadi model yang bisa diidolakan anak-anak mereka. Seharusnya, merekalah yang menjadi kebanggaan anak-anak mereka.

Alasan lain
Selain hal-hal tersebut diatas, masih ada beberapa hal yang perlu menjadi alasan kenapa saya beranggapan bahwa kita para orang tua telah keluar jalur dari jalan yang seharusnya. Beberapa diantaranya antara lain: kita sering mengeluhkan guru yang memukul anak mereka di sekolah padahal kita mempercayakan anak kita pada mereka. Selanjutanya, kita juga memberikan anak-anak kita makanan dari sumber yang tidak sehat secara jasmani dan rohani. Kita menyadari bahwa mental dan jiwa kita juga dibentuk oleh makanan yang kita komsumsi. Tentunya dengan menafkahi anak-anak kita dari hasil yang tidak baik, maka kita secara sadar telah merusak karakter generasi penerus kita. Terlalu lucu rasanya bahwa kita mengharapkan keturunan yang berahlak mulia, tetapi justru kita sebaliknya menghalangi bahkan menjadi penyebab rusaknya kemampuan mereka untuk menDAYAgunakan (membangkitkan dan memanfaatkan) BUDI pekerti yang baik.

Hal lain yang cukup parah adalah kita membiarkan anak kita menjadi raja dirumah kita. Maksud saya adalah kita memberikan peran yang berlebihan terhadap anak kita, untuk berbuat sesuka hati mereka. Bagi saya hal ini sama dengan membiarkan anak-anak menindas para orang tua. Hal ini diperparah lagi dengan dampak negatif undang-undang perlindungan anak  dan atau KDRT yang justru membatasi ruang gerak orang tua dalam mendidik anak-anaknya secara totalitas.
Yang terakhir, saya pikir, kita telah salah dalam memberikan kebahagian pada anak-anak kita dengan membiarkan TV, HP, dan Internet menggantikan kita sebagai penghibur hati mereka. Kita biarkan anak-anak kita mencari sumber ketenangan diluar diri mereka, padahal kebahagian itu sudah ada di dalam diri mereka dan ada juga dalam diri kita sebagai orang tua. Bukankah kebahagian itu begitu dekat tetapi kita menjauhinya. Bukankah kebahagian itu murah meskipun banyak orang yang telah sukses secara finansial tidak mampu membelinya. 
Alangkah indahnya kalau kita mau menyadari bahwa anak-anak kita adalah sumber kebahagian bagi kita dan anak-anak yang berahlak mulia yang sanggup mewarisi seluruh kebaikan dalam diri kita. Mereka akan menjadi buah hati dan bunga mata kita. Kita hanya perlu menyadari dan merawatnya agar kita bisa memetik hasilnya.
Kesimpulan
Akhirnya, mengatakan orang tua sekarang kejam pada anaknya mungkin bukan istilah yang tepat, tetapi mungkin ada kalimat yang lebih tepat untuk mengatakan bahwa orang tua sekarang secara tidak sadar telah membiarkan atau menghancurkan anak-anak mereka sendiri.
Tulisan ini saya ungkapkan bukan sebagai bentuk kekecewaan atau protes kepada para orang tua, karena saya juga adalah ayah bagi anak-anak saya. Tetapi ini salah satu bentuk kepedulian saya pada apa yang sedang terjadi pada anak-anak dan orang tua modern. Semoga tulisan ini tidak menusuk hati dan meninggalkan luka kepada orang lain. Tetapi saya berharap ini bisa menjadi obat penawar bagi racun yang telah merasuk dalam jiwa dan raga kita. Amin.


Nothing is too sudden when the time comes for everything,

...inspired by a true friend's memory...





Day 1

It was my first day stepping my leg in the UOW. I felt everything was foreign to me. The people I was watching, the trees, the wild animals, and the winter... everything did not warmly welcome my arival in this “ gardenic” campus. Yet,  I was happy...and I felt the joy of being in a completely unfamiliar spot.

Thanks god...bless in diguise...I saw a young lady, wearing hijab (head cover), sitting while seriously engaging with her phone. Was she meditating or reading? I asked my self.
As I needed to get rid of my strange feeling about that new place, I made myself disturb her and asked if she could give me a hand with my problems. Unexpectedly, she did not turn let me down, instead, she became really helpful  guide for me although it was just less than minutes.  She was my first warm welcome in the strange world.
I should thank her one day, I promised to myself. But when and where the moment would come?

Day 2...
I had quite a bit long chat with her, about her study and everything. We share thoughts, but I dominated a lot. I hate my self in this part. However, she’s was really a great listener.  No matter how unintelligent my words were, she would pay her deepest attention. She listened with affection. That was another time when I found my voice valuable and respected. Speaking from the very bottom of my heart, I needed more time to be with such a personality.

Day 3...weeks after
There she is... She was just right in front of my eyes...Unbelievable... That was too beautiul to be true.  My eyes caught a warm and sweet smile. It was enchanting moment to see her again. On purpose, I noticed her eyes which did smile as well. But, none would see those smiling eyes as technology “glasses” hid them. I hate technology for this reason.  No lenghty talks at that moment. Yet, she would see me on the following day. She kept her promise. It showed me more about her inner beauty, that was keeping her words.

Day 4...
Two cups of hot chocolates accompanied our chat. It was really serious talk. Everything became the topic of our conversation. At the moment, she, again showed her hidden beauty. Perhaps, it was only me who was aware of that. Or maybe some body else, like his boy friend or who else?. I have no idea.

At that cafe, I found they joy, happiness of being with her. Yet....I felt, something very familiar starting te blossom in me. It just felt beautiful but I didnt want to assume that I liked everything she was. I didn’t want to come to such a conclusion that suddenly.

Days after....
Since that meeting, I was trying to contemplate, because I needed to clarify what actually happened to me when I was with her. I did meditating for days. Yet, the more I tried to find the clarity, the same feeling even became obvious. ..after those contemplation, I was aware that I need her more than I want to talk to her about ideas and thoughts. .

One night on the Facebook
I was online, chatting on FB with the other group members. Then.. something caught my eyes. I saw her name on my FB page asking for friendship. I couldn’t believe my eyes. It was her FB.
Afterwards, I confirmed her friendship request. My curiosity then led me to surf on her FB. I found many interesting things on it, pictures, words and others. I didn’t realise that we both like to have beaches as our FB wallpaper. It was not coincidence. It just happened the way it was. Was it a sign of something great might happened? I was expecting that.
Thanks God.. she was also online. I thought I could have a chat with her.

Dafi        : Asslamu'alaikum Dear
Nada     : Wsalam! How’s everything going? I am  good
Dafi        : I cant forget the moment when i was with you. It was touchy, I just miss it.
Nada     : Heheh. Wanna meet again? It was nice.
Dafi        : Yes, I do hope to see you... but don't know what to say if i have to jumpa nada
  again...a bit nervous to be honest.
Nada     : Haha. But I don’t think you need to think of anything everything before hand. Things
                   will roll naturally.
Dafi        : That’s true, maybe it was only my feeling...You know when "certain feeling" fills your heart,   then your logic will just get nervous.
Nada, have I been saying something emotionally inaprpropriate to you?
Nada     : *sigh* i dont know, perhaps. Still trying to make out your words.
Dafi        : There is a thing which is more complicated to make out than logical words, that is a
  set of sentence representing someone's heart
Nada     :  And that set of sentences are...?
Dafi        : : I thing I feel strange vibration when talking with you. It was just different, unlike the other   feeling when i talked to the other girls. It isnt that easy to say...but I know what it is.
Nada     :  I'm sorry, but i feel it more in a platonic kind of way.
Dafi        :  I 've never expected that you would use such plato's phyloshophical words.
Nada     :  It just means that i am more interested in talking about things thoughts and ideas
 with you, as a friend.
Dafi        : I've already expected these sentences to come across from you. Every feeling is
special, the specialty needs to be tested or clarified. And the platonic feeling you experience is just like what I wish to happen when talking with you...although there is a possibility that another type of feeling might occur.
Nada     :  So what happens now?
Dafi        :  You've decided (clarified) already to minimize or reduce the possibility or the other feeling. Then what happens now is that we are friends. (deeeeeep sigh)
Nada     : I am really sorry Dafi. Its just too sudden.
Dafi        : I know, everything takes time...but there is always exception excluding this...
 uhmmm...have I been forcing your thought and emotion to uncomfortable state? I am
 really sorry for that, I never meant to..Things just roll naturally
Nada     “ A bit. I've been trying to figure out the best way to reply.
Dafi        : I know, it is not that easy to reply in " not a hurting way". No one seems to be
succesful...but you made a great success in responding to my "silly sudden words"
Nada     :   It’s not silly.
Dafi        : If it was not silly, would it be categorized "fast stupidity"
Nada     : It’s not stupid either.Just sudden. Anyway, lets not be awkward to each
                other anymore.
Dafi        :  I understand that when " something" get mattured to sudden, the quality might not be  good. It would be easy to decay...
 uhmmm, I accept your offer to stay normal... Let's talk about your name (Nada means
hope)
Nada     : And?
Dafi        :  I am lost..speechless...
Nada     :  Why?
Dafi        :  There is an eletric sock comes from you....sorry...just kidding
Nada     :  It's late. Can we talk another time?
Dafi        :  Take a rest...I hope we could talk another time...Have a nice dream.


Two days after...
I had a trip to Nan Tien Temple, one of a very sacred places for budhisme believers. I booked for a seat from the university as it would be the last tour to the temple. I was in rush from my house, not wanting to miss the tour. I got to the university right on time and registered my name. I was lucky and  but not that happy. To be honest, my feeling wasn’t at its best at that time. I didn’t really feel the way I used to be.

However, something stopped me from thinking about my own feeling. It was very akward, indeed. She suddenly appeared before my eyes and asked me if I would go for the tour as well. What a coincidence!
That was not coincidence any more, as it wasn’t the first time I met her  that way. It seemed that what I expected to happen always come true. Everytime I felt like wanting to see her, she was just there a few minutes after. It was just too romantic to be true. Yet, I believe there was hidden meaning beyond such happenings. Whatever it was, it is worth experiencing. 

                     At Nan Tien Temple
Every tour member seemed to be amazed at the temple. Almost none of  the temple side was out of their camera capture. I liked the place as well. Yet, I didn’t really feel the joy of the tour. I missed something.  Although I took photos of the building, statues, and any other things which belong to the temple, I still felt uneasy to enjoy the tour.
She maintained distance from me, although I was trying to get closed to her. She preferred being her “flocks” and that even prevented me from tasting the joy of the temple offered. Then, I sent her a message which she didn’t reply.  “I wish I could talk to you. I am just not confident”.
Things just become more akward in me, then  I decided to meditate for a few minutes to put  my self together, while letting the other tour members, including her, had their lunch time in the temple dining hall. My hunger was replaced and my starve was filled with uncertain feeling. I just wanted to end the tour quickly, wanna get rid of such imprisoning beautiful place.

This night
When I was lying on my bed, trying to forget all which had happened in that morning tour, I found a message from her. It was weird. What took her so long to respond such a message? I found no answer.
She said “ I am sorry for not talking properly to you. It just felt akward”
Not wanting to miss the momentum, I replied her with hundred of words, which still gained no response till this story was written.
I said“ True, I did feel the same thing. I feel really sorry to put you in such an inconvinient feeling. I should haven’t talked to you about my feeling. But I feel that ...in love to u..”
Then I sent another message “ Oh my God ( Ya Allah), please forgive me for the second mistake I made. I just can’t help keeping my own feeling hidden. I will not regret that she turns me down. But I will do regret for not telling the truth to her. Nothing is too sudden as your mercy, Allah, has created such a beautiful feeling in me less than a second”.
Not wanting to be more upset for not telling her the truth, I just kept pouring my feeling to her via messages. Then I said again “ Nada, after this..will there be another time to chat again?. Certainly, there is no way back to the moment where thoughts and ideas were smoothly flowing from you and me. But I believe everything should get better and there are lessons to learn from this situation.” I then ended my message by asking her to respond mine no matter when she feels at best to do so “ Please reply!, don’t let my words go nowhere...”

A few minutes after...
Cling...the sound of my FB...she online...
It told her that I had a piece of writing about our story... yet, she was just to busy to reply my FB. Instead, she asked to drop the file in her FB message. I did it, but unfortunately, I didn’t copy the refined story. So this is the furnished version. I need to listen to her own version if she cares.

A day after...
I was just about to lay on my bed, when suddenly, I noticed that there was a message from her. I quickly looked at what she wrote and tried to read every word of hers.
“So, here it is. First, I am sorry I couldn't reply your messages because I was busy attending some matters. I believed I would have to stomach all of it first before jumping into any conclusions or actions. Such is my nature, to take everything quietly inside and maul it over.
Now, as to yesterday's event. I wasn't aware of your attending the same tour as I did, and so, seeing your presence, I was not ready for any sort of confrontation. Therefore, taken aback, I sought refuge in my friends. It was not that I did not want to talk to you, but rather that the circumstances of our relation (or perceived relation, that is) towards each other have changed, that it tore in a rather tumultuous position. Simply put, I was uncomfortable.
Now, to the heart of the problem. I really appreciate your essay, detailing each of our single meeting in such earnest and honesty. I appreciate your gratitude towards me; it was simply a gesture of goodwill (by God, through me, if we were to see it another way). Your words, as ever, astound me, as they emanate from the sincerity of the heart, with a certain naivety, that I gather only those with a pure heart (and closeness to God) would gain insight into. That was my first impression, and subsequently the other two.
So imagine my reaction when you suddenly come forward with your confession. It was first, unexpected. Second, I do not feel the same way; my impression/interpretation of the same meeting does not coincide with yours. Thirdly; it negated everything that happened before, because it made me wonder whether our conversation merely was to impress, or did it came from that which i described above. Fourth, and I hope this would be clear enough, I am already commited to someone else.
As such, I cannot see a good ending for all this. If this (the possibility of love, or anything related) is what you are trying to pursue, then I cannot consent to it. Nor do I think we can be friends. I am thus extremely sorry for the position I have put you in, or the gestures/speeches/actions that I have made that have led to this. It is my fault, ultimately.
This is my reply, and I hope you receive this well.”

After having  a deep breath, I replied her message directly, without having any intension to get another response from her although I know that she was also online.

“I am really happy to have a clear ending as leaving feeling in such unclearness will lead to, even, more desperate than being softly turned down. However, all the previous conversation wasn't meant to impress any one, neither you. It was the real me. When I wanted to talk about the truth, I will just let the words out of my mouth.
Knowing that you've been in a relation with someone is also a great thing for me to reposition and fix my own feeling and thoughts. I can see clearly the positive ending of this, no matter how difficult it was to go through feeling negotiation among us. It is just like a ship wanting to find the right port to stop. There is always a best port for every ship.
One other thing that I am impressed with you is your response which is totally based on expressing yourself honestly. I do appreciate such a way of deed. This, has put me in an easier way as the only thing left to do is to put my self together.
It's great to see that it's my fault, perhaps yours as well, but it is much wiser to view all that happened to us as invaluable life lesson. Therefore, there is nothing which can't stop me from not forgiving you and from saying my deep sorry, but there shouldn't be anything that makes me forget your everything. It was just both sweet and bitter memory which ends in a " great ending".
Have a good life.”

Having written all my best words, I just turned off my FB and talked to my own heart that what was happening was the reality. Expectation or hope or whatever sweet thing I want should not always happen to me. Yet, I believe that if I don’t get what I want, God will definitely give me what I truly need, something or someone that has been created to be part of my life.

The end